Minggu, 07 Februari 2016

IMPLEMENTASI KONSEP DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

1. Pengertian Diversi Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.[1] Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana telah mengatur tentang diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, (Beijing Rule) Rule 11 :[2] “Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school r other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner”. Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana (president’s crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak (children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian queensland pada tahun 1963. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan.Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi. 2. Tujuan Diversi Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.[3] Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment) Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu : 1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. 2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan. 3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum.[4] Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :[5] a. Untuk menghindari anak dari penahanan; b. Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat; c. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak; d. Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya; e. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan; f. Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan. Selanjutnya konsep diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika : a. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya; b. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban; c. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses; d. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga; e. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Era Baru Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan anak bukanlah miniatur orang dewasa Di suatu negara tidak ada sistem hukum yang besifat abadi, sistem hukum tersebut akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman (dinamika masyarakat). Jika suatu sistem hukum "dianggap" sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma hukum yang berkembang dalam masyarakat maka sistem hukum tersebut haruslah diubah, itulah keunikan "hukum", akan selalu berubah seiring dengan perkembangan pola pikir masyarakat di suatu tempat. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pepatah latin "tempora mutantur nos et mutamur in illis" (zaman berubah dan kita juga akan berubah bersamanya) dimana pepatah ini pertama kali muncul dari buku William Harrison yang berjudul "Description of England" (1577.170). Salah satu sistem hukum yang saat ini sudah berubah adalah sistem hukum peradilan pidana terhadap anak (sebagai pelaku). Kenapa sistem hukum peradilan pidana anak berubah? Karena sistem peradilan pidana anak yang dulu diwakili oleh rezim Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip dan semangat hukum yang berkembang dalam masyarakat kita saat ini, sehingga digantilah dengan rezim hukum yang baru dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang biasa disingkat dengan SPPA, yang secara resmi menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka terjadilah "era baru" perubahan paradigma hukum dalam peradilan pidana anak dari yang dulunya bersifat absolut dan masih menggunakan pendekatan paradigma hukum lama yang selalu mengedepankan bahwa setiap anak yang melakukan perbuatan (pidana) harus dibalas dengan hukuman yang setimpal atau kita kenal dengan istilah "hak untuk membalas secara setimpal" (ius talionis), dimana pendekatan tersebut tidak jauh berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa yang melakukan tindak pidana, berubah dengan pendekatan sistem hukum yang lebih humanis yang lebih mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang menurut Toni Marshal adalah "suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu, secara bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang". Dalam Undang-Undang SPPA pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka (6) yang menyebutkan " keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali kepada pada keadaan semula, dan bukanlah pembalasan. Undang-Undang SPPA yang berlaku efektif sejak tanggal 31 Juli 2014 bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat anak dengan pendekatan restorative justice, dimana seorang anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, SPPA tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal demikian sejalan dengan tujuan penyelenggaraan SPPA yang dikehendaki oleh dunia internasional. Menurut Prof. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. (Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara) dalam makalahnya yang berjudul "Menyongsong berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Problema dan Solusinya", yang disampaikan dalam Seminar Hukum Nasional pada hari Selasa, 26 Maret 2013 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, menyatakan bahwa apabila ditelusuri, alasan utama pengganti Undang-Undang tersebut dikarenakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena secara komprehensif belum memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dikaji dari perspektif masyarakat internasional terhadap perlindungan hak-hak anak, antara lain terlihat dari adanya Resolusi PBB 44/25 – Convention on the Rights of the Child (CRC) (diratifikasi dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990), Resolusi PBB 40/33 – UN Standard Minimum Rules for the Administrations of Juvenile Justice (The Beijing Rules), Resolusi PBB 45/113 – UN Standard for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty, Resolusi PBB 45/112 – UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyardh Guidelines) dan Resolusi PBB 45/110 – UN Standard Minimum Rules for Custodial Measures 1990 (The Tokyo Rules). Hal demikian, didasarkan pada pemikiran bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen, dimana negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seorang anak (pelaku) yang diusianya yang masih sangat muda tetapi sudah berani melakukan perbuatan yang melanggar hukum (melakukan tindak pidana), pada dasarnya anak tersebut bukanlah seorang anak yang “ jahat” sehingga kita tidak boleh terlalu cepat memberikan label kepada anak tersebut sebagai seorang "penjahat" atau label apa saja yang bisa membuat anak tersebut tidak nyaman dalam berinteraksi sosial, karena pada dasarnya anak tersebut adalah korban dari sebuah sistem sosial yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan dan sosial yang tidak sehat, terpengaruh dengan budaya konsumerisme, serta tidak adanya panutan yang positif dalam keluarganya (broken home) yang bisa dijadikan panutan si anak dalam menjalani kehidupannya. Dan faktor-faktor tersebutlah membuat si anak yang merasa mulai terkucilkan dan diasingkan oleh lingkungan sosialnya mengambil jalan pintas untuk eksis dengan melakukan berbagai macam tindak pidana, seperti bergabung dengan teman-temannya (yang merasa senasib) membuat suatu komunitas misalnya membentuk "komunitas geng motor". Jauh sebelumnya hal tersebut sudah pernah dikemukukan oleh salah seorang maha guru hukum pidana yang bernama Separovic yang menyatakan, bahwa: "Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu (1) faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan), dan (2) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu". Sehingga kedepan, kita semua (baik penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat ) harus lebih bijak memperlakukan seorang anak (pelaku) yang berhadapan dengan hukum (melakukan perbuatan pidana) agar bisa diberikan penyelesaian yang terbaik buat si anak, demi kepentingan si anak dalam menjalani kehidupannya; Penyelesaian Perkara Anak dengan Diversi Era baru pendekatan sistem hukum peradilan pidana anak sejak berlakunya Undang-Undang SPPA jauh berbeda dengan saat masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut tidak mengenal proses pengalihan penyelesaian perkara yang melibatkan anak (pelaku) di luar peradilan anak yang selama ini dilalui dengan proses persidangan, dimana istilah tersebut lebih popular saat ini dengan istilah diversi. Dalam Undang-Undang SPPA yang baru, seorang anak (pelaku) yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang sudah berumur 12 (dua belas tahun) meskipun sudah pernah kawin dan belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun tetapi sudah kawin, pada saat diproses baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat anak diperiksa di Pengadilan Negeri maka pada setiap tingkatan pemeriksaan tersebut wajib dilakukan diversi, walupun dalam hal proses diversi ada pembatasan bahwa yang bisa di-diversi adalah tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan termasuk di atas 7 (tujuh) tahun atau lebih, apabila bentuk surat dakwaannya berbentuk subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi, dan termasuk yang tidak bisa lagi di-diversi adalah anak yang melakukan pengulangan tindak pidana walaupun tindak pidana yang dilakukan anak tersebut tidak sejenis dengan tindak pidana terdahulu. Diversi dalam Undang-Undang SPPA memang menjadi salah satu ciri pembeda dengan aturan yang terdahulu (UU Nomor 3 Tahun 1997), dan penulis yakin bahwa istilah diversi adalah istilah yang masih awam dan masih terasa asing (alienisasi) ditelinga kita, apa sih yang dimaksud dengan "Diversi"?. Konsep diversi di Indonesia memang merupakan hal yang baru dan baru kita kenal sejak Undang-Undang SPPA diundangkan walupun sebenarnya istilah diversi di beberapa negara sudah lama dikenal seperti konsep diversi sudah mulai dikenal di Amerika Serikat dan Australia sebelum tahun 1960. Diversi dalam pengertian gramatikal adalah "pengalihan" sedangkan pengertian umum diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke proses di luar peradilan pidana dengan syarat atau tanpa syarat. Dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang SPPA, diversi didefenisikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Secara umum proses diversi ini dilakukan dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak (pelaku), menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Peran serta Masyarakat Ciri khas lain dalam Undang-Undang SPPA, yakni memberikan peran serta kepada masyarakat untuk berperan aktif, dimana masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak, sehingga dalam menjalankan Undang-Undang SPPA ini bukan hanya menjadi kewajiban penegak hukum tetapi termasuk kepada kita masyarakat umum diberikan ruang dan gerak untuk ikut aktif melaksanakan perintah Undang-Undang SPPA tersebut. Sebagai contoh peran serta masyarakat pada saat proses diversi dilaksanakan di setiap tingkatan dapat dihadirkan perwakilan masyarakat (tokoh masyarakat) yang dapat dimintai pendapat oleh fasilitator baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat proses di Pengadilan Negeri mengenai hal yang terbaik kepada si anak (pelaku). Berbeda ketika masih berlakuknya rezim Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sama sekali tidak memberikan ruang dan gerak kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan suatu perkara pidana yang melibatkan anak. Semoga tulisan singkat ini memberikan kita pemahaman dan gambaran yang baru tentang sistem peradilan pidana anak yang saat ini sudah mulai berlaku sejak efektifnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA per 31 Juli 2014.