Senin, 18 Desember 2017

Peranan BAPAS dalam perkara anak

 Pelaksanaan system Pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan Pemasyarakatan atau membangun manusia mandiri. Sistem Peradilan pidana dalam kerangka system merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menegakkan hokum pidana dan menjagaq ketertiban social, dilaksanakan mulai kerja polisi dalam melakukan penyidikan peristiwa pidana, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Pemeriksaan perkara di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di Lapas, Rutan dan Cabang Rutan. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut harus saling dukung mendukung secara sinergis hingga tujuan dari bekerjanya system peradilan pidana tersebut dapat dicapai.
            Salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan system peradilan pidana tersebut dilaksanakan oleh Balai Pemasayrakatan (BAPAS) yang merupakan bagian dari kegiatan sub system pemasyarakatan narapidana atau sub-sub system peradilan pidana. Namun demikian keberadaan dan peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tersebut sering diabaikan atau bahkan tidak diketahui oleh sub system yang lain dalam system peradilan pidana. Keadaan pengabaian atau tidak diketahuinya Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tersebut tentu saja akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan system peradilan pidana secara keseluruhan. Dimana Balai Pemasyarakatan (BAPAS) merupakan bagian dari system Tata Peradilan, mempunyai tugas melaksanakan pembimbing dan mendampingi anak nakal dlam proses Peradilan Anak.
      II. DASAR HUKUM   
            Balai Pemasyarakatan (BAPAS) pranata untuk melaksanakan Bimbingan Kemasyarakatan Pengentasan Anak dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya berdasar pada:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang RI No.12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
  3. Undang-Undang RI No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak
  4. Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
  5. PP.RINo.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
  6. PP. RI. No.32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
  7. PP. Ri. No.57 Tahun 1999 Tentang Kerja sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
  8. PP.RI No.58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Carqa Pelaksanaan Tugas dan Tangggungjawab Perawatan Tahanan.
  9. Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 Tentang Nomenklatur Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
  10. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01.PK.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Masyarakat.
  11. Keputusan Menteri Kehakiman RI. No.01.PK.04.10 Tahun 1999 Tentang Assimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
  12. Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M.01.PK.03.02 Tahun 2001 Tentang Cuti Mengunjungi Keluarga bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
  13. Petunjuk Pelaksanaan Menteri Kehakiman RI. No. E-39. PR.05.03 Tahun 1987 Tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan
  14. Petuynjuk Teknis Menteri Kehakiman RI No. E.40.PR.05.03 Tahun 1987 Tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan.
 III. KEDUDUKAN HUKUM BAPAS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA 
            Kedudukan hokum dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam peraturan perundangan Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-UndangNo.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 4 di rumuskan bahwa Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Adapun Klien Pemasyarakatan dirumuskan sebagai seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS (Pasal 1 angka 9).
            Nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebelumnya adalah Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 namanya diubah menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) untuk disesuaikan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
            Rumusan pasal-pasal tersebut diatas tentu saja belum memberikan kejelasan peran dari BAPAS. Penjabaran dari peran BAPAS tersebut dapat disimak pada Peraturan Pemerintahg No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 6 Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembimbingan klien pemasyarakatan disebut sebagai pembimbing Kemasyarakatan. Dengan demikian didalam tugasnya melakukan pembimnbingan terhadap klien pemasyarakatan.

A. PERAN BAPAS DALAM PERLINDUNGAN ANAK
             Sebagaimana diketahui bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hokum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun social sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang meliputi :
  1. Non Diskriminasi
  2. Kepentingan yang terbaik untuk anak
  3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
  4. Penghargaan terhadap anak
Berdasarkan prinsip-porinsip tersebut, baik anak yang berhadapan dengan hokum, Balai Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai kekuatan untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi anak, melaui rekomendasi dalam Penelitian Kemasyarakatan maupun dalam pembimbingan.
Pembimbingan Kemasyarakatan (PK) merupakan jabatan tehnis yang disandang oleh petugas pemasyarakatan di BAPAS dengan tugas pokok melaksanakan bimbingan dan penelitian terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) sesuai Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Dengan peran BAPAS yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarkatan (PK) juga dapat ditemukan pada Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:
1.      Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar siding anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).
2.      Membimbing, membantu dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.
             Pada Pasal 55, 57 dan 58 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 terdapat rumusan tentang Pembimbing Kemasyarakatan bahkan kewajibannya untuk hadir dalam siding anak. Pada Pasal 56 diatur kewajiban Hakim untuk memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang akan disidangkan sebelum siding dibuka. Pada Pasal 59 (2) mewajibkan kepada hakim dalam putusannya untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sudah harus dimulai semenjak proses penyidikan. Dalam Pasal 42 (2) penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran pembimbingan kemasyarakatan.
  B. PERTIMBANGAN DAN SARAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DAN MANFAATNYA 
            Hasil utama dari pelaksanaan tugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam perkara anak nakal adalah laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang no.3 Tahun 1997) yang berisi:
  1. Data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan social anak
  2. Kesimpulan data pendapat dari pembimbing kemasyarakatan
Manfaat dari laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Dalam Pasal 59 ayat 2 Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitain kemasyarakatan tersebut karena dalam menetukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak nakal, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan sanksi (Pasal 23) atau mengambil tindakan (Pasal 24).Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi yang dapat dijatuhakan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena ia belum menyadari akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya melihat aspek pidananya saja. Dikaitkan dengan Undang-Undang No.23Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 16 dirumuskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan anatara lain penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan penangkapan, penahanan atau penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Seyogyanya anak yang berkonflik dengan hokum tidak dijatuhi pidana, apabila anak dijatuhi pidana maka hak-hak lain dari anak yang dijamin oleh undang-undang dan pertumbuhan anak akan dapat terganggu. Selain itu diketahui pula bahwa tempat pendidikan atau pembinaan anak yang terbaik adalah keluarganya. Apabila keluarganya tidak mampu mendidik anak, maka banyak alternative pengganti keluarga yang dapat diberi tugas untuk pembimbingan anak yang sesuai dengan system social Indonesia yaitu kerabat keluarga besarnya.

IV. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
                Penangan anak yang berkonflik dengan hokum saat ini belum dapat dilaksanakan secara terpadu oleh aparat penegak hokum yang terkait dengan tugas-tugas Balai Pemasyarakatan, sehingga satu sama lainnya belum dapat melaksanakan ketentuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan masih terkesan adanya penonjolan kepentingan masing-masing aparat. Maka upaya untuk belum terpadu antar penegak hokum dalam penanganan masalah anak, sehingga program lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, belum dapat diwujudkan karena system Peradilan Anak di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara terpadu, sehingga muncul permasalahan-permasalahan:
  1. Belum adanya kesamaan persepsi dari para penegak hukum maupun yang terkait dalam proses persidangan anak dalam rangka mencari solusi terbaik guna kepentingan terbaik bagi anak
  2. Belum semua anak yang berkonflik dengan hokum yang diteliti oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dan disidangkan di pengadilan melibatkan PK dari Balai Pemasyarakatan, serta belum sepenuhnya hasil litmas dijadikan bahan pertimbangan untuk mencari solusi terbaik bagi anak.
  3. Belum dilaksanakan secara menyeluruh dari pasal-pasal yang termuat dalam Undang-Undang RI No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, karena masih adanya perbedaan persepsi yang sama terhadap undang-undang tersebut diantara penegak hokum dalam menanganai anak yang berkonflik dengan hokum.
 V. KESIMPULAN
  1. Proses perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum (pidana) dimana anak sebagi pelaku, maka peran orang tua/wali, penasehat hokum, polisi, jaksa dan hakim serta BAPAS adalah merupakan satu system yang saling relevan untuk terlaksananya dan di lindunginya hak-hak anak dalam proses peradilan anak.
  2. Penuntutan anak anakal harus bertujuan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh, serasi, selaras dan seimbang dan disisi lain penuntutan juga harus memperhatikan kepentingan anak korban, keluarga dan masyarakat.
 VI. PENUTUP
            Berdasarkan uraian diatas, maka peran BAPAS yang terutama berhubungan dengan pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan akan terkait dengan para penegak hokum lain, yang meliputi petugas pemasyarakatan dari Lapas, polisi, jaksa dan hakim. Dengan memahami peran, tugas dan kewajiban BAPAS yang merupakan salah satu sub-sub system dalam system peradilan pidana, maka diharapkan bahwa penghukuman merupakan upaya terakhir. Cirinya adalahsedikit mungkin tersangka dijatuhi hukuman penjara, sebanyak mungkin pemberian saksi non penjara.

Jumat, 10 Maret 2017

Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai Wadah Pembinaan Narapidana

       Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama  2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan. 

 Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan
Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.
2. Pembinaan Narapidana
            Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan
3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

       Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana
 Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana "kerusakan" yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi  yang telah "rusak" dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan "pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.

 Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice.Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.

  Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi :

1. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana.

2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

a). Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan.

b). Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

Penerapan Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam perkembangan hukum pidana, telah terjadi pergeseran paradigma dalam filosofi peradilan pidana anak, yang awalnya adalah retributive justice, kemudian berubah menjadi rehabilitation, lalu yang terakhir menjadi restorative justice.[i] Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa istilah baru yang tidak dikenal di dalam Undang- Undang Pengadilan Anak, diantaranya adalah diversi dan restorative justice. Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sementara restorative justice yang dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 dikenal dengan istilah keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/ korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Terkait dengan pergeseran paradigma peradilan pidana anak seperti yang telah dijelaskan di atas, berikut adalah skema yang menjelaskan perbedaan antara retributive justice dan restorative justice ; 
Retributive Justice
  1.  Tindak pidana melanggar sistem hukum dan Negara.
  2.  Pelanggaran menimbulkan kesalahan. 
  3.  Proses mewajibkan Negara untuk membuktikan kesalahan dan menjatuhkan hukuman.
  4.  Fokus pada hukuman yang harus diterima pelaku.
 Restorative Justice 
  1. Tindak pidana melanggar orang dan hubungannya. 
  2. Pelanggaran menimbulkan kewajiban. 
  3. Proses mengikutsertakan korban, pelaku, dan masyarakat untuk berusaka mengembalikan ke tempat yang benar. 
  4. Fokus pada kebutuhan korban dan tanggung jawab pelaku untuk memperbaiki kerugian.

 Sementara diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Dalam Beijing Rules pada aturan 11 dijelaskan bahwa: : “Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school or other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner”[ii] Dari ketentuan pada aturan 11 Beijing rules di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa diversi sejatinya bertujuan untuk menghambat atau mengurangi efek negatif (stigma) yang ditimbulkan oleh sistem peradilan pidana. Adapun diversi ini biasanya diterapkan pada pelanggaran-pelanggaran ringan di mana keluarga, sekolah atau institusi sosial informal lainnya telah bertindak dengan cara yang layak dan konstruktif. Menurut Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2012 Diversi bertujuan untuk; 
  1. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  2. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  3. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Diversi wajib diupayakan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, meskipun konsekuensi “wajib” pada pengupayaan diversi juga menjadi kabur karena sanksi terhadap pengabaian ketentuan ini yang diatur pada pasal 96 sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012.
 Berikut adalah skema upaya diversi dalam Sistem Peradlian Pidana Anak; bagan diversi 
 Meskipun demikan, memang tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan diversi, Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 memberikan batasan pada kasus yang bisa diupayakan diversi yaitu : 
1.Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;dan 
2.Bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Adapun bentuk dari kesepakatan diversi antara lain; perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat. Pada akhirnya, efektif atau tidaknya diversi dan restorative justice sangat tergantung pada bagaimana aparat sistem peradilan pidana dan masyarakat menegakkan dan melaksanakannya, jika tidak restorative justice dan diversi hanya merupakan ketentuan-ketentuan yang bagus di atas kertas, namun tumpul dalam implementasinya.