KITA TERSENYUM BUKAN KARNA SUATU HAL BAIK TERJADI TETAPI SUATU HAL BAIK TERJADI KARNA KITA TERSENYUM
Minggu, 07 Februari 2016
Era Baru Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan anak bukanlah miniatur orang dewasa
Di suatu negara tidak ada sistem hukum yang besifat abadi, sistem hukum tersebut akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman (dinamika masyarakat). Jika suatu sistem hukum "dianggap" sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma hukum yang berkembang dalam masyarakat maka sistem hukum tersebut haruslah diubah, itulah keunikan "hukum", akan selalu berubah seiring dengan perkembangan pola pikir masyarakat di suatu tempat. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pepatah latin "tempora mutantur nos et mutamur in illis" (zaman berubah dan kita juga akan berubah bersamanya) dimana pepatah ini pertama kali muncul dari buku William Harrison yang berjudul "Description of England" (1577.170).
Salah satu sistem hukum yang saat ini sudah berubah adalah sistem hukum peradilan pidana terhadap anak (sebagai pelaku). Kenapa sistem hukum peradilan pidana anak berubah? Karena sistem peradilan pidana anak yang dulu diwakili oleh rezim Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip dan semangat hukum yang berkembang dalam masyarakat kita saat ini, sehingga digantilah dengan rezim hukum yang baru dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang biasa disingkat dengan SPPA, yang secara resmi menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka terjadilah "era baru" perubahan paradigma hukum dalam peradilan pidana anak dari yang dulunya bersifat absolut dan masih menggunakan pendekatan paradigma hukum lama yang selalu mengedepankan bahwa setiap anak yang melakukan perbuatan (pidana) harus dibalas dengan hukuman yang setimpal atau kita kenal dengan istilah "hak untuk membalas secara setimpal" (ius talionis), dimana pendekatan tersebut tidak jauh berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa yang melakukan tindak pidana, berubah dengan pendekatan sistem hukum yang lebih humanis yang lebih mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang menurut Toni Marshal adalah "suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu, secara bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang". Dalam Undang-Undang SPPA pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka (6) yang menyebutkan " keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali kepada pada keadaan semula, dan bukanlah pembalasan.
Undang-Undang SPPA yang berlaku efektif sejak tanggal 31 Juli 2014 bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat anak dengan pendekatan restorative justice, dimana seorang anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, SPPA tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal demikian sejalan dengan tujuan penyelenggaraan SPPA yang dikehendaki oleh dunia internasional.
Menurut Prof. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. (Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara) dalam makalahnya yang berjudul "Menyongsong berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Problema dan Solusinya", yang disampaikan dalam Seminar Hukum Nasional pada hari Selasa, 26 Maret 2013 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, menyatakan bahwa apabila ditelusuri, alasan utama pengganti Undang-Undang tersebut dikarenakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena secara komprehensif belum memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dikaji dari perspektif masyarakat internasional terhadap perlindungan hak-hak anak, antara lain terlihat dari adanya Resolusi PBB 44/25 – Convention on the Rights of the Child (CRC) (diratifikasi dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990), Resolusi PBB 40/33 – UN Standard Minimum Rules for the Administrations of Juvenile Justice (The Beijing Rules), Resolusi PBB 45/113 – UN Standard for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty, Resolusi PBB 45/112 – UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyardh Guidelines) dan Resolusi PBB 45/110 – UN Standard Minimum Rules for Custodial Measures 1990 (The Tokyo Rules). Hal demikian, didasarkan pada pemikiran bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen, dimana negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Seorang anak (pelaku) yang diusianya yang masih sangat muda tetapi sudah berani melakukan perbuatan yang melanggar hukum (melakukan tindak pidana), pada dasarnya anak tersebut bukanlah seorang anak yang “ jahat” sehingga kita tidak boleh terlalu cepat memberikan label kepada anak tersebut sebagai seorang "penjahat" atau label apa saja yang bisa membuat anak tersebut tidak nyaman dalam berinteraksi sosial, karena pada dasarnya anak tersebut adalah korban dari sebuah sistem sosial yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan dan sosial yang tidak sehat, terpengaruh dengan budaya konsumerisme, serta tidak adanya panutan yang positif dalam keluarganya (broken home) yang bisa dijadikan panutan si anak dalam menjalani kehidupannya. Dan faktor-faktor tersebutlah membuat si anak yang merasa mulai terkucilkan dan diasingkan oleh lingkungan sosialnya mengambil jalan pintas untuk eksis dengan melakukan berbagai macam tindak pidana, seperti bergabung dengan teman-temannya (yang merasa senasib) membuat suatu komunitas misalnya membentuk "komunitas geng motor". Jauh sebelumnya hal tersebut sudah pernah dikemukukan oleh salah seorang maha guru hukum pidana yang bernama Separovic yang menyatakan, bahwa: "Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu (1) faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan), dan (2) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu".
Sehingga kedepan, kita semua (baik penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat ) harus lebih bijak memperlakukan seorang anak (pelaku) yang berhadapan dengan hukum (melakukan perbuatan pidana) agar bisa diberikan penyelesaian yang terbaik buat si anak, demi kepentingan si anak dalam menjalani kehidupannya;
Penyelesaian Perkara Anak dengan Diversi
Era baru pendekatan sistem hukum peradilan pidana anak sejak berlakunya Undang-Undang SPPA jauh berbeda dengan saat masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut tidak mengenal proses pengalihan penyelesaian perkara yang melibatkan anak (pelaku) di luar peradilan anak yang selama ini dilalui dengan proses persidangan, dimana istilah tersebut lebih popular saat ini dengan istilah diversi. Dalam Undang-Undang SPPA yang baru, seorang anak (pelaku) yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang sudah berumur 12 (dua belas tahun) meskipun sudah pernah kawin dan belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun tetapi sudah kawin, pada saat diproses baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat anak diperiksa di Pengadilan Negeri maka pada setiap tingkatan pemeriksaan tersebut wajib dilakukan diversi, walupun dalam hal proses diversi ada pembatasan bahwa yang bisa di-diversi adalah tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan termasuk di atas 7 (tujuh) tahun atau lebih, apabila bentuk surat dakwaannya berbentuk subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi, dan termasuk yang tidak bisa lagi di-diversi adalah anak yang melakukan pengulangan tindak pidana walaupun tindak pidana yang dilakukan anak tersebut tidak sejenis dengan tindak pidana terdahulu.
Diversi dalam Undang-Undang SPPA memang menjadi salah satu ciri pembeda dengan aturan yang terdahulu (UU Nomor 3 Tahun 1997), dan penulis yakin bahwa istilah diversi adalah istilah yang masih awam dan masih terasa asing (alienisasi) ditelinga kita, apa sih yang dimaksud dengan "Diversi"?. Konsep diversi di Indonesia memang merupakan hal yang baru dan baru kita kenal sejak Undang-Undang SPPA diundangkan walupun sebenarnya istilah diversi di beberapa negara sudah lama dikenal seperti konsep diversi sudah mulai dikenal di Amerika Serikat dan Australia sebelum tahun 1960. Diversi dalam pengertian gramatikal adalah "pengalihan" sedangkan pengertian umum diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke proses di luar peradilan pidana dengan syarat atau tanpa syarat. Dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang SPPA, diversi didefenisikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Secara umum proses diversi ini dilakukan dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak (pelaku), menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Peran serta Masyarakat
Ciri khas lain dalam Undang-Undang SPPA, yakni memberikan peran serta kepada masyarakat untuk berperan aktif, dimana masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak, sehingga dalam menjalankan Undang-Undang SPPA ini bukan hanya menjadi kewajiban penegak hukum tetapi termasuk kepada kita masyarakat umum diberikan ruang dan gerak untuk ikut aktif melaksanakan perintah Undang-Undang SPPA tersebut. Sebagai contoh peran serta masyarakat pada saat proses diversi dilaksanakan di setiap tingkatan dapat dihadirkan perwakilan masyarakat (tokoh masyarakat) yang dapat dimintai pendapat oleh fasilitator baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat proses di Pengadilan Negeri mengenai hal yang terbaik kepada si anak (pelaku). Berbeda ketika masih berlakuknya rezim Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sama sekali tidak memberikan ruang dan gerak kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan suatu perkara pidana yang melibatkan anak.
Semoga tulisan singkat ini memberikan kita pemahaman dan gambaran yang baru tentang sistem peradilan pidana anak yang saat ini sudah mulai berlaku sejak efektifnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA per 31 Juli 2014.