Pelaksanaan system Pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan Pemasyarakatan atau membangun manusia mandiri. Sistem Peradilan pidana dalam kerangka system merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menegakkan hokum pidana dan menjagaq ketertiban social, dilaksanakan mulai kerja polisi dalam melakukan penyidikan peristiwa pidana, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Pemeriksaan perkara di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di Lapas, Rutan dan Cabang Rutan. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut harus saling dukung mendukung secara sinergis hingga tujuan dari bekerjanya system peradilan pidana tersebut dapat dicapai.
Salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan system peradilan pidana tersebut dilaksanakan oleh Balai Pemasayrakatan (BAPAS) yang merupakan bagian dari kegiatan sub system pemasyarakatan narapidana atau sub-sub system peradilan pidana. Namun demikian keberadaan dan peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tersebut sering diabaikan atau bahkan tidak diketahui oleh sub system yang lain dalam system peradilan pidana. Keadaan pengabaian atau tidak diketahuinya Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tersebut tentu saja akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan system peradilan pidana secara keseluruhan. Dimana Balai Pemasyarakatan (BAPAS) merupakan bagian dari system Tata Peradilan, mempunyai tugas melaksanakan pembimbing dan mendampingi anak nakal dlam proses Peradilan Anak.
II. DASAR HUKUM
Balai Pemasyarakatan (BAPAS) pranata untuk melaksanakan Bimbingan Kemasyarakatan Pengentasan Anak dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya berdasar pada:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Undang-Undang RI No.12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
- Undang-Undang RI No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak
- Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
- PP.RI. No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
- PP. RI. No.32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
- PP. Ri. No.57 Tahun 1999 Tentang Kerja sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
- PP.RI No.58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Carqa Pelaksanaan Tugas dan Tangggungjawab Perawatan Tahanan.
- Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 Tentang Nomenklatur Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
- Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01.PK.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Masyarakat.
- Keputusan Menteri Kehakiman RI. No.01.PK.04.10 Tahun 1999 Tentang Assimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
- Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M.01.PK.03.02 Tahun 2001 Tentang Cuti Mengunjungi Keluarga bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
- Petunjuk Pelaksanaan Menteri Kehakiman RI. No. E-39. PR.05.03 Tahun 1987 Tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan
- Petuynjuk Teknis Menteri Kehakiman RI No. E.40.PR.05.03 Tahun 1987 Tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan.
III. KEDUDUKAN HUKUM BAPAS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Kedudukan hokum dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam peraturan perundangan Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-UndangNo.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 4 di rumuskan bahwa Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Adapun Klien Pemasyarakatan dirumuskan sebagai seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS (Pasal 1 angka 9).
Nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebelumnya adalah Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 namanya diubah menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) untuk disesuaikan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Rumusan pasal-pasal tersebut diatas tentu saja belum memberikan kejelasan peran dari BAPAS. Penjabaran dari peran BAPAS tersebut dapat disimak pada Peraturan Pemerintahg No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 6 Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembimbingan klien pemasyarakatan disebut sebagai pembimbing Kemasyarakatan. Dengan demikian didalam tugasnya melakukan pembimnbingan terhadap klien pemasyarakatan.
A. PERAN BAPAS DALAM PERLINDUNGAN ANAK
Sebagaimana diketahui bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hokum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun social sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang meliputi :
- Non Diskriminasi
- Kepentingan yang terbaik untuk anak
- Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
- Penghargaan terhadap anak
Berdasarkan prinsip-porinsip tersebut, baik anak yang berhadapan dengan hokum, Balai Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai kekuatan untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi anak, melaui rekomendasi dalam Penelitian Kemasyarakatan maupun dalam pembimbingan.
Pembimbingan Kemasyarakatan (PK) merupakan jabatan tehnis yang disandang oleh petugas pemasyarakatan di BAPAS dengan tugas pokok melaksanakan bimbingan dan penelitian terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) sesuai Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Dengan peran BAPAS yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarkatan (PK) juga dapat ditemukan pada Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:
1. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar siding anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).
2. Membimbing, membantu dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.
Pada Pasal 55, 57 dan 58 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 terdapat rumusan tentang Pembimbing Kemasyarakatan bahkan kewajibannya untuk hadir dalam siding anak. Pada Pasal 56 diatur kewajiban Hakim untuk memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang akan disidangkan sebelum siding dibuka. Pada Pasal 59 (2) mewajibkan kepada hakim dalam putusannya untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sudah harus dimulai semenjak proses penyidikan. Dalam Pasal 42 (2) penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran pembimbingan kemasyarakatan.
B. PERTIMBANGAN DAN SARAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DAN MANFAATNYA
Hasil utama dari pelaksanaan tugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam perkara anak nakal adalah laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang no.3 Tahun 1997) yang berisi:
- Data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan social anak
- Kesimpulan data pendapat dari pembimbing kemasyarakatan
Manfaat dari laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Dalam Pasal 59 ayat 2 Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitain kemasyarakatan tersebut karena dalam menetukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak nakal, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan sanksi (Pasal 23) atau mengambil tindakan (Pasal 24).Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi yang dapat dijatuhakan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena ia belum menyadari akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya melihat aspek pidananya saja. Dikaitkan dengan Undang-Undang No.23Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 16 dirumuskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan anatara lain penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan penangkapan, penahanan atau penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Seyogyanya anak yang berkonflik dengan hokum tidak dijatuhi pidana, apabila anak dijatuhi pidana maka hak-hak lain dari anak yang dijamin oleh undang-undang dan pertumbuhan anak akan dapat terganggu. Selain itu diketahui pula bahwa tempat pendidikan atau pembinaan anak yang terbaik adalah keluarganya. Apabila keluarganya tidak mampu mendidik anak, maka banyak alternative pengganti keluarga yang dapat diberi tugas untuk pembimbingan anak yang sesuai dengan system social Indonesia yaitu kerabat keluarga besarnya.
IV. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Penangan anak yang berkonflik dengan hokum saat ini belum dapat dilaksanakan secara terpadu oleh aparat penegak hokum yang terkait dengan tugas-tugas Balai Pemasyarakatan, sehingga satu sama lainnya belum dapat melaksanakan ketentuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan masih terkesan adanya penonjolan kepentingan masing-masing aparat. Maka upaya untuk belum terpadu antar penegak hokum dalam penanganan masalah anak, sehingga program lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, belum dapat diwujudkan karena system Peradilan Anak di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara terpadu, sehingga muncul permasalahan-permasalahan:
- Belum adanya kesamaan persepsi dari para penegak hukum maupun yang terkait dalam proses persidangan anak dalam rangka mencari solusi terbaik guna kepentingan terbaik bagi anak
- Belum semua anak yang berkonflik dengan hokum yang diteliti oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dan disidangkan di pengadilan melibatkan PK dari Balai Pemasyarakatan, serta belum sepenuhnya hasil litmas dijadikan bahan pertimbangan untuk mencari solusi terbaik bagi anak.
- Belum dilaksanakan secara menyeluruh dari pasal-pasal yang termuat dalam Undang-Undang RI No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, karena masih adanya perbedaan persepsi yang sama terhadap undang-undang tersebut diantara penegak hokum dalam menanganai anak yang berkonflik dengan hokum.
V. KESIMPULAN
- Proses perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum (pidana) dimana anak sebagi pelaku, maka peran orang tua/wali, penasehat hokum, polisi, jaksa dan hakim serta BAPAS adalah merupakan satu system yang saling relevan untuk terlaksananya dan di lindunginya hak-hak anak dalam proses peradilan anak.
- Penuntutan anak anakal harus bertujuan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh, serasi, selaras dan seimbang dan disisi lain penuntutan juga harus memperhatikan kepentingan anak korban, keluarga dan masyarakat.
VI. PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, maka peran BAPAS yang terutama berhubungan dengan pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan akan terkait dengan para penegak hokum lain, yang meliputi petugas pemasyarakatan dari Lapas, polisi, jaksa dan hakim. Dengan memahami peran, tugas dan kewajiban BAPAS yang merupakan salah satu sub-sub system dalam system peradilan pidana, maka diharapkan bahwa penghukuman merupakan upaya terakhir. Cirinya adalahsedikit mungkin tersangka dijatuhi hukuman penjara, sebanyak mungkin pemberian saksi non penjara.