Jumat, 10 Maret 2017

Penerapan Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam perkembangan hukum pidana, telah terjadi pergeseran paradigma dalam filosofi peradilan pidana anak, yang awalnya adalah retributive justice, kemudian berubah menjadi rehabilitation, lalu yang terakhir menjadi restorative justice.[i] Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa istilah baru yang tidak dikenal di dalam Undang- Undang Pengadilan Anak, diantaranya adalah diversi dan restorative justice. Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sementara restorative justice yang dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 dikenal dengan istilah keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/ korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Terkait dengan pergeseran paradigma peradilan pidana anak seperti yang telah dijelaskan di atas, berikut adalah skema yang menjelaskan perbedaan antara retributive justice dan restorative justice ; 
Retributive Justice
  1.  Tindak pidana melanggar sistem hukum dan Negara.
  2.  Pelanggaran menimbulkan kesalahan. 
  3.  Proses mewajibkan Negara untuk membuktikan kesalahan dan menjatuhkan hukuman.
  4.  Fokus pada hukuman yang harus diterima pelaku.
 Restorative Justice 
  1. Tindak pidana melanggar orang dan hubungannya. 
  2. Pelanggaran menimbulkan kewajiban. 
  3. Proses mengikutsertakan korban, pelaku, dan masyarakat untuk berusaka mengembalikan ke tempat yang benar. 
  4. Fokus pada kebutuhan korban dan tanggung jawab pelaku untuk memperbaiki kerugian.

 Sementara diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Dalam Beijing Rules pada aturan 11 dijelaskan bahwa: : “Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school or other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner”[ii] Dari ketentuan pada aturan 11 Beijing rules di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa diversi sejatinya bertujuan untuk menghambat atau mengurangi efek negatif (stigma) yang ditimbulkan oleh sistem peradilan pidana. Adapun diversi ini biasanya diterapkan pada pelanggaran-pelanggaran ringan di mana keluarga, sekolah atau institusi sosial informal lainnya telah bertindak dengan cara yang layak dan konstruktif. Menurut Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2012 Diversi bertujuan untuk; 
  1. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  2. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  3. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Diversi wajib diupayakan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, meskipun konsekuensi “wajib” pada pengupayaan diversi juga menjadi kabur karena sanksi terhadap pengabaian ketentuan ini yang diatur pada pasal 96 sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012.
 Berikut adalah skema upaya diversi dalam Sistem Peradlian Pidana Anak; bagan diversi 
 Meskipun demikan, memang tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan diversi, Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 memberikan batasan pada kasus yang bisa diupayakan diversi yaitu : 
1.Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;dan 
2.Bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Adapun bentuk dari kesepakatan diversi antara lain; perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat. Pada akhirnya, efektif atau tidaknya diversi dan restorative justice sangat tergantung pada bagaimana aparat sistem peradilan pidana dan masyarakat menegakkan dan melaksanakannya, jika tidak restorative justice dan diversi hanya merupakan ketentuan-ketentuan yang bagus di atas kertas, namun tumpul dalam implementasinya.