Departemen
 Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, 
menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki
 diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat 
diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan 
dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.
Saat
 seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, 
maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 
Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang 
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan 
kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam 
sistem pemasyarakatan Indonesia.
Setelah
 proses pembinaan telah berjalan selama  2/3 masa pidana yang sebenarnya
 atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini 
memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa 
kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai 
sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. 
Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti 
menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar 
Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut 
pembimbingan Klien Pemasyarakatan. 
 Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan
Dalam
 proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan 
sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin 
dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung
 Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. 
Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai 
harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga 
Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur 
yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan
 teralis besi menambah kesan seram penghuninya.
2. Pembinaan Narapidana
            Bahwa
 sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat 
terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada 
sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau 
kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang 
diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan
3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Berkenaan
 dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata 
dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari
 pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif 
belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan 
pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan 
mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan. 
       Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana 
 Ironis,
 hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan 
Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan 
solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya 
tindak kejahatan di mana "kerusakan" yang ditimbulkan oleh tindak 
kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi  yang
 telah "rusak" dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam 
keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari 
individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat 
direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut 
sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong 
untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, 
keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang 
kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat 
menginginkan agar bagi pelaku diberikan "pelayanan" yang bersifat 
rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan 
menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi 
penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi. 
 Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice.Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses
 penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang 
dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak 
pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan 
di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi 
mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan 
pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang 
saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak 
pidana yang terjadi.
  Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
Teori
 rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program 
kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 
(UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu 
meliputi :
1. Asimilasi
Dalam
 asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya 
adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. 
2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
a).
 Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat
 kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari 
masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama
 sembilan bulan. 
b).
 Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah
 menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu 
sekurang- kurangnya sembilan bulan.