Jumat, 10 Maret 2017

Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai Wadah Pembinaan Narapidana

       Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama  2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan. 

 Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan
Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.
2. Pembinaan Narapidana
            Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan
3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

       Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana
 Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana "kerusakan" yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi  yang telah "rusak" dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan "pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.

 Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice.Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.

  Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi :

1. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana.

2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

a). Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan.

b). Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

Penerapan Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam perkembangan hukum pidana, telah terjadi pergeseran paradigma dalam filosofi peradilan pidana anak, yang awalnya adalah retributive justice, kemudian berubah menjadi rehabilitation, lalu yang terakhir menjadi restorative justice.[i] Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa istilah baru yang tidak dikenal di dalam Undang- Undang Pengadilan Anak, diantaranya adalah diversi dan restorative justice. Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sementara restorative justice yang dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 dikenal dengan istilah keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/ korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Terkait dengan pergeseran paradigma peradilan pidana anak seperti yang telah dijelaskan di atas, berikut adalah skema yang menjelaskan perbedaan antara retributive justice dan restorative justice ; 
Retributive Justice
  1.  Tindak pidana melanggar sistem hukum dan Negara.
  2.  Pelanggaran menimbulkan kesalahan. 
  3.  Proses mewajibkan Negara untuk membuktikan kesalahan dan menjatuhkan hukuman.
  4.  Fokus pada hukuman yang harus diterima pelaku.
 Restorative Justice 
  1. Tindak pidana melanggar orang dan hubungannya. 
  2. Pelanggaran menimbulkan kewajiban. 
  3. Proses mengikutsertakan korban, pelaku, dan masyarakat untuk berusaka mengembalikan ke tempat yang benar. 
  4. Fokus pada kebutuhan korban dan tanggung jawab pelaku untuk memperbaiki kerugian.

 Sementara diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Dalam Beijing Rules pada aturan 11 dijelaskan bahwa: : “Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school or other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner”[ii] Dari ketentuan pada aturan 11 Beijing rules di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa diversi sejatinya bertujuan untuk menghambat atau mengurangi efek negatif (stigma) yang ditimbulkan oleh sistem peradilan pidana. Adapun diversi ini biasanya diterapkan pada pelanggaran-pelanggaran ringan di mana keluarga, sekolah atau institusi sosial informal lainnya telah bertindak dengan cara yang layak dan konstruktif. Menurut Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2012 Diversi bertujuan untuk; 
  1. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  2. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  3. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Diversi wajib diupayakan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, meskipun konsekuensi “wajib” pada pengupayaan diversi juga menjadi kabur karena sanksi terhadap pengabaian ketentuan ini yang diatur pada pasal 96 sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012.
 Berikut adalah skema upaya diversi dalam Sistem Peradlian Pidana Anak; bagan diversi 
 Meskipun demikan, memang tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan diversi, Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 memberikan batasan pada kasus yang bisa diupayakan diversi yaitu : 
1.Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;dan 
2.Bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Adapun bentuk dari kesepakatan diversi antara lain; perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat. Pada akhirnya, efektif atau tidaknya diversi dan restorative justice sangat tergantung pada bagaimana aparat sistem peradilan pidana dan masyarakat menegakkan dan melaksanakannya, jika tidak restorative justice dan diversi hanya merupakan ketentuan-ketentuan yang bagus di atas kertas, namun tumpul dalam implementasinya.